-Gege-
Gege menatap topi kuning di tangannya. Tepat setahun yang lalu ia kehilangan separuh hatinya. Dan bukan oleh pengkhianatan, tapi oleh sesuatu yang lebih kuat dari itu. Ia menatap ke arah jendela. Ada kemarahan yang muncul kembali dan harus dibuang keluar sana. Tapi kemarahan itu masih tetap ada. Gege bangkit dari duduknya dan dengan cepat membuka jendela.
“Kamu pikir kamu siapa?!!”
Suara pria itu begitu keras hingga menusuk jantungnya. Aku siapa? Aku memang bukan siapa-siapa. Aku cuma seorang pemuda yang mencintai anak Bapak...
“Kamu tidak pantas buat anak saya!!”
Gege menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada yang pantas untuk mendampingi anak Bapak yang begitu indah... Tidak juga aku memang.
“Jangan pernah muncul di hadapan saya!! Atau saya akan bunuh kamu!!”
Lalu wajah seorang gadis muncul di benaknya. Seorang gadis dengan senyuman yang paling indah yang pernah ia lihat. Dengan suara manja setiap memanggil namanya. Dan kemudian wajah pucat dengan mata yang menyala-nyala.
“Jangan tinggalin aku Kak Gege... Aku nggak bisa hidup tanpa Kak Gege...”
“Kamu bisa Gina...”
“Enggak, aku nggak bisa. Aku yakin, kalau Kak Gege tinggalin aku, aku bakalan sakit lagi...”
“Kamu jangan ngomong begitu dong. Kamu pasti bakalan sembuh. Kamu harus sembuh, yah?”
“Kak Gege harus janji... Apapun yang terjadi, Kak Gege nggak bakalan tinggalin aku...”
Gege menatap Gina dengan lembut. Ingin sekali rasanya memeluk gadis itu erat-erat, tapi tubuhnya yang ringkih begitu rapuh, membuat Gege takut melukainya.
“Aku nggak akan tinggalin kamu.”
“Janji...!” ucapnya setengah merajuk.
Gege mengangguk.
“Kalau nggak diucapin, itu belum jadi janji.” tuntutnya lagi.
Gege menghela nafas, “Iya. Aku janji. Aku nggak akan tinggalin kamu.”
Dan kini Gina memeluk Gege erat-erat.
“Sekarang, aku mau Kak Gege nyanyi.” ujarnya sambil melepaskan pelukannya. Gege tersenyum.
“Masak aku nyanyi disini? Ini rumah sakit Gina.”
“Emangnya kenapa? Kalau di rumah sakit, nggak boleh ada hiburan? Ayo Kak. Pasti pasien-pasien yang lain bakalan senang lihat Kakak nyanyi sambil nari...!”
Lalu Gina bangkit. Dengan penuh kekhawatiran, Gege mendampingi Gina yang kelihatan begitu kurus dan begitu ringkih, berjalan menghampiri meja stereo yang ada di ujung ruangan. Untungnya Gina memiliki seorang ayah yang kaya raya, hingga dengan kuasanya, ia bisa merubah bangsal yang tadinya begitu mengerikan, jadi sebuah ruangan yang penuh dengan kehangatan, warna warni bunga, satu rak CD dengan beraneka ragam musik, tempat semua pasien-pasien bisa bercengkrama, menari dan menyanyi.
Disanalah pertama kali Gege bertemu dengan Gina. Ketika itu First Dance, kelompok dance tempat Gege bernaung, dipanggil oleh sebuah event organiser untuk menjadi pengisi acara ulang tahun anak seorang CEO yang sedang dirawat di rumah sakit itu. Regina namanya. Usianya baru 16 tahun, yang seumur hidupnya harus selalu melakukan cuci darah tiap sebulan sekali.
Saat itu Gege datang lebih dulu sebelum yang lainnya datang. Sambil menunggu, Gege menyalakan musik dari handphonenya, dan ia mulai menari. Ia berputar, melompat, berguling dan melompat lagi. Ketika ia menari, ia tak merasakan apa-apa kecuali bahwa hatinya bahagia. Karena itu Gege tak menyadari kalau ada sepasang mata yang sedang mengamatinya.
Gege baru menyadari kalau Regina ada ketika tiba-tiba dirinya terjatuh, dan ada suara seseorang memekik di sudut ruangan. Gege menoleh. Disitulah ia melihat Gina pertama kali. Gadis yang begitu indah, kulitnya putih, rambut ikal yang panjang menutupi dadanya, wajah yang pucat tapi punya mata yang menyala-nyala. Saat itu juga ia tahu kalau ia jatuh cinta.
“Kakak nggak papa?” ujarnya. Suaranya lirih dan begitu menyenangkan. Gege tak mampu menjawabnya. Rasa sakit apapun hilang seketika saat ia mendengar suaranya.
Mereka berkenalan dan baru kemudian Gege mengetahui kalau Regina adalah gadis yang sedang berulang tahun itu.
“Gila lo Ge, naksir sih naksir, tapi cari cewek yang selevel dong sama elo.” ujar Mike, sahabat Gege. Gege terkekeh.
“Gue nggak kenal level-level cinta Mike. Gue suka ya suka aja. Kalo dia suka yaudah. Dia suka, ya jadian.” ujarnya santai.
“Ya tapi lo juga mesti sadar diri Ge. Banyak banget perbedaannya antara elo sama dia. Dia anak orang kaya, lo anak orang gak punya. Lo mau makan aja mesti kerja dulu, dia cuci darah aja di VIP, man. Lo hitam, dia putih! Lo Flores, dia Cina!”
Gege menatap Mike tajam. “Cinta tuh nggak kenal perbedaan-perbedaan kayak gitu Mike. Yang dikenal sama cinta tuh rasa. Gue rasa bahagia di deket dia, dia juga begitu...”
“Tapi Bapaknya nggak rasa bahagia lo deketin anaknya!” potong Mike kemudian.
Gege terdiam sejenak. “Nanti juga dia pasti terima. Gue bakalan bikin anaknya bahagia. Mana ada orang tua yang nggak suka anaknya bahagia...” ujar Gege kemudian. Ia tahu dalam hatinya bahwa ucapannya tadi adalah salah satu doanya.
Dan semenjak itu, setiap hari Gege datang mengunjungi Gina. Mengajaknya menari, bernyanyi berdua, menemani Gina di rumah sakit. Gina sangat bahagia. Tak pernah ia punya semangat hidup sebesar ini sebelumnya. Tak pernah ia bisa tertawa sebebas ini sebelumnya. Dan melihat Gina tertawa adalah kebahagiaan bagi Gege.
“Kamu pucat, tapi mata kamu menyala-nyala. Seperti api di atas laut.” ucap Gege ketika ia sedang menemani Gina cuci darah. Gina tersenyum. Sama sekali ia tak merasa sakit ataupun mual tiap kali Gege menemaninya.
“Mana mungkin ada api di atas laut. Apinya pasti mati dong...” ujarnya sambil tertawa.
“Kalau api di mata kamu nggak akan pernah mati. Makanya kamu indah.” ujar Gege dengan serius. Gina terdiam dan tersenyum.
“Kalau aku mati... Kak Gege harus janji nggak akan sedih yaa” ujarnya kemudian. Gege mengernyit tak suka.
“Kenapa kamu ngomong begitu? Udah ngomongin yang lain aja.”
“Aku serius. Kalau aku mati, Kak Gege harus terus menari. Yah?”
“Aku pulang aja ah.” ungkap Gege dengan kesal.
Gina menarik tangan Gege. “Iya deh iya... Uh, gitu aja ngambek!”
Lalu seketika Gina teringat akan sesuatu. Ia segera menyerahkan sebuah kotak pada Gege. Gege tertegun.
“Apa ini?”
“Buka aja”
Gege membukanya. Sebuah topi berwarna kuning tergeletak di dalam kotak itu. Gege tersenyum. Gina mengambilnya dan memasangkannya pada Gege. Mereka saling berpegangan tangan begitu erat.
Yang tak diketahui oleh Gege, adalah tepat pada saat itu, seorang pria setengah baya mengamati di kejauhan dengan wajah penuh emosi. Pak Richard, ayah Gina, sama sekali tak menyukai kedekatan Gege dengan putrinya. Sehari kemudian, saat Gege datangi Gina di rumahnya, petugas keamanan mengusirnya.
“Kenapa?” tanya Gege penuh kebingungan. “Saya ‘kan sudah sering kesini?”
“Saya cuma jalanin perintah aja. Tolong pergi.” ujar petugas keamanan itu lagi.
Tak terima dengan pengusiran itu, Gege menelpon Gina. Tapi bukannya suara manja Gina yang didengarnya, melainkan suara berat dan tegas dari Pak Richard.
“Tolong jauhi putri saya. Saya tidak suka kamu. Sekali lagi kamu datang, saya akan telpon Polisi.” Klik.
Polisi? Dia pikir aku penjahat apa? Aku cinta anakmu, bukannya ingin melukainya. Aku ingin menjaganya, aku ingin mencintainya, aku ingin bersamanya. Apa salahnya?
Kegelisahan membawa Gege kembali datang, tapi ia selalu kembali ditolak. Kali ini tak lagi bisa ia menghubungi Gina. Jangankan bicara, melihatnya saja sudah tak lagi bisa.
Tuhan, aku ingin bertemu dengannya sekali lagi. Sekali lagi saja. Biar aku tahu kalau dia baik-baik saja... Tolong aku Tuhan...
Pagi itu Gege datang lagi ke rumah Gina. Ia menunggu di seberang jalan. Hujan pun tak ia hiraukan. Dan Tuhan pun mengabulkan permintaanya. Sebuah mobil keluar dari dalam rumah. Gege bisa melihat Pak Richard yang berada di dalam mobil itu. Rintik yang begitu deras membuat Gege bisa leluasa menyusup melalui pagar elektrik yang masih terbuka dan melewati penjagaan petugas.
Gege memasuki rumah Gina dengan leluasa, karena sepi sekali saat itu. Ia tahu kemana ia harus melangkah, ke sebuah ruangan dengan pintu berwarna kuning. Tangannya yang keriput karena dinginnya air hujan membuka pintu itu. Disana, Gina berbaring di ranjangnya. Separuh rambut menutupi wajahnya.
Perlahan Gege menghampiri sosok yang begitu ia rindukan. Ia bersimpuh di hadapan Gina. Gadis belia itu terkulai lemas, wajahnya lebih pucat dari sebelumnya dan tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. Gege terenyuh. Ia mengusap lembut kening Gina, dan tangan dingin Gege membuat Gina tersadar. Ketika mata itu terbuka, Gege tak melihat api lagi dimata itu. Dengan suara yang lebih lemah dari sebelumnya, Gina memanggil...
“Kak Gege... Kemana aja...?” ujarnya lirih.
Gege tak mampu menjawabnya. Ia begitu sedih melihat kondisi Gina yang seperti ini.
“Kamu... kenapa jadi begini?” tanyanya dengan parau.
“Kak Gege kemana aja?” ujarnya lagi.
“Maafin aku. Aku disini sekarang.” jawab Gege.
“Kak Gege jangan tinggalin aku... Kak Gege udah janji nggak akan tinggalin aku...”
“Iya... Aku disini sekarang. Maafin aku yah... Maafin aku...”.
Apapun yang terjadi, aku nggak akan pergi lagi dari sisi kamu. Aku akan hadapi badai apapun untuk tetap bisa bersama kamu.
Dan badai itupun datang. Pak Richard kembali dan dengan kemarahannya membentak, memaki, mengusir Gege dari kamar itu. Tapi Gina menggenggam erat tangan Gege. Dan Gege juga tak melepaskannya. Petugas keamanan turun tangan, mereka menarik, memukul dan menampar Gege. Badai yang ganas itu memakan korban, dan korban itu adalah Gina, yang tak sadarkan diri dalam pelukan Gege.
Begitu ruang UGD itu tertutup, Gege dan Pak Richard berdiri berhadapan.
“Kamu nggak tau apa yang sudah kamu perbuat! Kamu sudah bahayakan hidup anak saya!” ungkap Pak Richard dengan suara bergetar.
“Saya mencintai anak Bapak.” ujar Gege dengan tegas.
“Saya nggak peduli. Saya cuma ingin anak saya hidup!” kata Pak Richard dengan penuh emosi.
“Saya akan selalu dampingi Gina, Pak. Saya nggak akan kecewain ataupun ngelukain perasaannya. Saya yakin, Gina akan sembuh bersama saya Pak!” ungkap Gege berapi-api.
“Dia akan mati bersama kamu!! Kamu akan membunuh dia!!” bentak Pak Richard kemudian. Gege tertegun.
“Bagaimana mungkin saya membunuh orang yang saya cintain Pak?” suara Gege terdengar bergetar. Pak Richard menatap Gege lekat-lekat. Kali ini dia bicara, dengan suara yang penuh kesedihan, dan meskipun sulit dipercaya, saat ini lebih terdengar seperti memohon...
“Dokter bilang, ginjalnya sudah tidak mungkin lagi berfungsi dengan baik. Kerusakannya sudah begitu parah. Satu-satunya jalan adalah transplantasi. Saya sudah menyiapkan semuanya untuk menyelamatkan dia. Gina harus dioperasi di Shanghai. Tapi dia tidak mau pergi. Dia tidak mau tinggalkan kamu. Dia memilih mati daripada harus pergi... Kamu akan membunuhnya!!” katanya dengan penuh kebencian.
Gege terpaku. Jantungnya seperti berhenti.
Bodoh... Kamu pikir itu benar, Gina? Kamu betul-betul gadis bodoh... Lebih baik aku mati daripada melihat kamu menyia-nyiakan hidup kamu seperti itu... Aku mau api di mata kamu terus menyala...
Pak Richard mendekat, dan kali ini ia benar-benar memohon pada Gege.
“Tolong saya. Gina menolak semua pengobatan apapun. Saya sudah tidak bisa membujuk dia.”
“Saya nggak tau saya harus gimana...” ucap Gege dengan suara tercekat.
“Katakan padanya, kalau kamu tidak mencintainya. Lukai perasaannya, dengan begitu dia akan bersedia untuk menyembuhkan penyakitnya.”
Lama sekali Gege berdiri disitu. Bahkan setelah Pak Richard meninggalkannya, ia masih berdiri disitu, memikirkan semuanya.
Aku tak ingin kehilangan api di mata kamu. Nyala yang seperti api di tengah lautan. Kalaupun aku tak harus bersama kamu, setidaknya api itu masih tetap menyala disitu.
Gege mengangguk. Ia tahu ini akan menyakitkan. Tapi ia harus melakukannya. Ia memasuki ruangan UGD, dan melangkah mendekati sebuah ranjang, dimana disitu terbaring gadis dengan mata yang sudah tidak menyala seperti sebelumnya. Mata itu menatap Gege dengan sisa-sisa kekuatannya, dan senyum yang indah itu tersungging dengan lemah.
Gege mendekat... Tuhan kuatkan hati ini.
Gege menyentuh dengan lembut kening Gina... Tuhan jangan biarkan aku rapuh dihadapannya.
Gege bersimpuh dihadapannya... Tuhan berikan aku kekuatan untuk mengatakannya...
“Gina... Aku pikir kayaknya kita lebih baik nggak sama-sama lagi...”
Gina terkejut. Dengan sisa kekuatannya ia berusaha untuk bangkit. Gege membiarkannya, walaupun hatinya sedih menatap usaha terakhir Gina.
“K... Kenapa?” ujarnya dengan suara parau.
Gege tersenyum. “Aku udah mulai sibuk. Aku nggak bakalan punya waktu lagi buat kamu.”
“Aku nggak papa nunggu kok... Kak Gege nggak usah datang tiap hari, aku bisa ngerti...” kata-katanya kedengaran seperti kepanikan.
Gege terdiam. Kembali teringat ucapan Pak Richard... “Katakan padanya, kalau kamu tidak mencintainya. Lukai perasaannya, dengan begitu dia akan bersedia untuk menyembuhkan penyakitnya.”
Gege menghela nafas. Mulutnya sudah terbuka. Tapi hatinya tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap Gina.
“Maafin aku. Lupain aku.” cuma itu yang keluar dari mulut Gege. Dan dengan cepat Gege membalikkan badannya. Gege meninggalkan Gina yang masih terkejut dengan ucapan Gege. Dan air mata menetes di pipi Gina.
Dan beberapa hari kemudian Pak Richard menelpon, berterimakasih padanya yang telah melukai perasaan putrinya.
“Terimakasih. Siang ini saya berangkat sama Gina ke Shanghai. Berapapun yang kamu minta, saya akan transfer sekarang juga. Nanti asisten saya yang akan urus semuanya.”
Klik.
Seperti itu juga perasaan Gege saat ini. Seperti terputus dari pijakannya di bumi. Klik.
Tidak mungkin ini terjadi. Aku bukan orang yang lemah. Aku nggak seharusnya mengalah. Ini rasanya nggak benar...
Angin bertiup memasuki ruangan dan menerbangkan topi kuning Gege yang tergeletak di atas meja. Gege tertegun. Ia segera mengambil topi itu dan mengenakannya. Untuk beberapa saat Gege seperti terhipnotis, lalu secepat kilat ia berlari.
Gege berlari meninggalkan kost-kostannya. Ia berlari mendahului semua orang yang menghalanginya. Gege berlari seperti angin. Ia berlari seperti Lumba-Lumba di lautan. Ia berlari seperti menari. Dan tanpa terasa sampailah ia di depan rumah Gina.
Tepat pada saat itu, pagar itu terbuka. Mobil Pak Richard keluar dari dalam rumah. Gege berdiri, sengaja menampakkan dirinya di pinggir jalan. Sinar matahari menerangi topi kuningnya.
Dari dalam mobil, Pak Richard menatap Gege dengan tatapan kesal dan marah. Gege menatapnya menantang. Tapi mobil tidak berhenti. Gege berlari mengejar mobil. Ia bisa melihat, Gina duduk di bagian belakang mobil, masih tak menyadari kehadirannya. Gege terus berlari mengejar. Hingga sinar matahari memantulkan cahaya kuning dari topi yang ia kenakan, ke jendela bagian belakang.
Gina tertegun. Ia menatap keluar jendela. Ia bisa melihat Gege. Gina terkesiap.
“Ginaaa!!!” teriak Gege sambil berlari. Gina terpengarah. Mata di wajah yang pucat itu sekarang kembali menyala. Gina tersenyum. Ia membuka jendela lebar-lebar.
“Gina!!” bentak Pak Richard. Tapi Gina tak mempedulikan bentakan ayahnya. Ia mengulurkan tangannya pada Gege yang berlari mengejar. Gege meraih tangan Gina. Gina tersenyum bahagia.
“Kak Gege... Aku tau Kak Gege nggak mungkin tinggalin aku...” ungkapnya dengan penuh ceria.
Gege tersenyum sambil berlari. Tapi mobil semakin lama semakin cepat melaju. Genggaman tangan Gege dan Gina semakin lama semakin kencang karena jarak yang semakin kuat untuk memisahkan.
“Kak Gege... Janji tetap menari yaaahh!!” teriak Gina. Tepat pada saat itu genggaman tangan mereka berdua terlepas. Gege berusaha untuk kembali mengejar, tapi uluran tangan Gina semakin menjauh.
Gege tak sanggup lagi berlari. Mobil semakin kencang, meskipun Gina masih terlihat melongok keluar jendela sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Itu adalah terakhir kali Gege melihat Gina, gadis dengan wajah pucat dan mata menyala, seperti api di tengah lautan.
Sekarang, Gege kembali menatap keluar jendela. Ia baru saja kehilangan separuh hatinya. Dan bukan oleh pengkhianatan, tapi oleh sesuatu yang lebih kuat dari itu. Operasi itu tak berhasil. Gina tak akan kembali lagi.
“Kak Gege... Janji tetap menari yaaahhh!!”
Gege menunduk dalam-dalam.
“Kalau nggak diucapin, itu belum jadi janji!”
Gege mengangkat wajahnya dan bertekad... “Aku janji akan tetap menari. Aku janji.”
Gege mengenakan topi kuning itu. Ia bergegas mengambil handphonenya. Ia membuka sms yang tadi masuk dan belum sempat dijawabnya.
Isi sms itu: Ge, personil NSG STAR ada yang mengundurkan diri. Mau nggak lo gantiin?
Gege menjawab sms itu: Mau. Gue berangkat sekarang!
BERSAMBUNG